Anak-anak yang suka memakan makanan yang manis-manis atau permen, diperparah dengan kurangnya perhatian orangtua akan kebersihan gigi si kecil, menyebabkan gigi menjadi mudah berlubang bahkan keropos. Gigi susu yang keropos ini, nantinya masih bisa diganti dengan gigi tetap. Hanya saja pada beberapa anak yang telah mempunyai gigi tetap, ada kemungkinan pula mengalami pengeroposan gigi meski rajin sikat gigi.
Awalnya ini adalah bagian dari TUGAS SEKOLAHku, namun kini akan ku isi dengan posting yang mungkin berguna bagi Anda semua :)
Minggu, 08 November 2009
Mencegah Gigi Rusak & Keropos
Anak-anak yang suka memakan makanan yang manis-manis atau permen, diperparah dengan kurangnya perhatian orangtua akan kebersihan gigi si kecil, menyebabkan gigi menjadi mudah berlubang bahkan keropos. Gigi susu yang keropos ini, nantinya masih bisa diganti dengan gigi tetap. Hanya saja pada beberapa anak yang telah mempunyai gigi tetap, ada kemungkinan pula mengalami pengeroposan gigi meski rajin sikat gigi.
Rabu, 28 Oktober 2009
Hewan amfibi (kelas amphibian) merupakan hewan tetrapoda (berkaki empat), terdiri atas 3900 speses. Penyebaran amfibi pertama adalah pada periode karboniverus dan dikenal sebagai tahun amfibi. Hingga saat ini terdapat tiga kelompok amfibi, yaitu Ordo Anura (contohnya katak dan kodok), Ordo Urodella/Caudata (contohnya, salamander), dan Ordo Apoda/Gymnophiona
(contohnya, salamander cacing).
Salamander termasuk hewan karnivor, makanannya berupa invertebrata kecil, seperti serangga, siput, keong kecil, maupun cacing. Fertilisasi salamander dilakukan secara internal. Umumnya jantan menghasilkan sel sperma yang mengandung spermatofor yang nantinya akan di tampung oleh hewan betina di dalam kloaka. Kloaka salamander merupakan muara dari saluran urine, genital, dan pencernaan (urogenital). Setelah sel telur betina dibuahi, sel sperma akan dientuk telur. Telur tersebut diletakkan di air atau di darat.
Katak (misalnya Rana sp) dan kodok (misalnya Bufo sp). Merupakan jenis amfibi tak berekor. Kepala kedua hewan tersebut bergabung dengan anggota badan belakang yang terspesialisasi untuk melompat. Katak mempunyai kulit yang halus dan kaki yang panjang, hidup di dekat perairan tawar, sedangkan kodok bertubuh gemuk, kulit kasar berbinntil, dan hidup di tempat berlumpur. Amfibi berasal dari bahasa Latin, amphibian=dua kehidupan, maksudnya kelompok hewan tersebut dapat hidup di darat dan di air. Kebanyakan amfibi ke air hanya untuk melangsungkan reproduksi. Fertilisasi secara eksternal, sel sperma membuahi sel telur di luar tubuh amfibi betina. Umumnya telur dilindungi oleh selubung agar-agar dan bercangkang. Pada saat menetas dihasilkan kecebong yang melangsungkan kehidupan di air.
Kecebong merupakan larpa akuatik berinsang dan akan bermetamorfosis menjadi dewasa. Hewan dewasa keluar dari perairan dan bernafas dengan paru-paru. Selain di air, beberapa jenis amfibi mampu bereproduksi di darat.
Hei, apa yang membedakan hewan amfibi dari reptil?
Reptil dan amfibi bisa jadi terlihat sangat mirip, tapi tentu saja ada perbedaannya. Amfibi biasanya terlihat (dan dirasakan) lebih berlumpur, sedangkan hewan yang tergolong reptile biasanya akan memiliki kulit tubuh yang kering, terdiri atas lapisan sisik yang keras. Beberapa jenis hewan tinggal di air, dan sebagian lagi tinggal di daratan. Sementara bagi Amfibi, menjadi bagian kehidupan darat atau air adalah pilihan. Katak, kodok, dan salamander (jenis kadal) adalah beberapa jenis hewan Amfibi.
Lalu, bagaimana membedakan katak dengan kodok? Katak memiliki kulit halus dan kaki belakang yang panjang untuk melompat, dan biasanya mereka terdapat di daerah berair. Sedangkan kodok memiliki kulit kasar dan kaki belakang yang pendek, bisanya hidup di daerah kering.
Seperti kebanyakan hewan Amfibi lainnya, katak meninggalkan telurnya di air. Berudu atau kecebong yang kecil akan menetas dari telur tersebut dan bernafas di dalam air, layaknya ikan. Berudu ini lantas berkembang dan mengalami perubahan. Kaki mereka tumbuh dan bisa melompat ke daratan. Mereka mulai bernafas di udara. Ekornya lalu memendek, dan menghilang.
Sedangkan kadal, adalah satu-satunya hewan Amfibi yang memiliki ekor panjang. Jika diserang oleh hewan lain, kadal bisa memutuskan ekornya untuk tujuan kamuflase. Ekor ini akan meliuk-liuk untuk mengalihkan pandangan si musuh, lalu kadal pun selamat! Kemudian, seiring berjalannya waktu, kadal akan memiliki ekor baru.
Ada satu hewan amfibi yang paling aneh. Hewan ini tidak punya kaki atau ekor, disebut caecilians.
Orang Jawa mungkin menyebutnya keluwing, tampak menyerupai cacing tanah dalam ukuran besar. Anehnya, mereka juga buta. Kebanyakan hewan ini tinggal di tanah yang gembur, sama seperti cacing. Tapi hewan ini memiliki tulang dan gigi. Hmm.. aneh tapi nyata ya
Berdasarkan penelitian terbaru, diketahui bahwa hewan-hewan amfibi di dunia menghadapi ancaman lingkungan yang bisa memusnahkan mereka. Sekitar 122 spesies amfibi bahkan telah punah sejak tahun 1980, dan sepertiga dari yang tersisa sudah sangat sulit ditemukan.
Padahal menurut para ilmuwan, hewan-hewan ini merupakan indikator yang akurat untuk mengetahui apakah lingkungan yang kita tempati bebas dari polusi dan masih sehat.
Adalah Global Amphibian Assessment, suatu badan pekerja yang terdiri dari lebih 500 peneliti, yang mempublikasikan penelitian mereka tentang amfibi di journal Science. Penelitian itu dilengkapi data-data dari Conservation International, IUCN-The World Conservation Union, dan NatureServe sehingga layak dipercaya.
Disebutkan, saat ini ada 5.743 jenis hewan amfibi --atau hewan yang hidup di darat dan air-- termasuk katak, kodok, salamander dan caecilian atau amfibi yang tidak berkaki. Mereka tersebar di seluruh penjuru Bumi kecuali di kutub.
Dari semua itu, sekitar 1.856 jenis --atau hampir sepertiganya-- berada dalam kondisi terancam punah. Setidaknya sembilan spesies sudah tidak pernah terlihat dan nyaris terlupakan sejak tahun 1980, yakni masa dimana beberapa spesies mulai hilang. Sedangkan 113 jenis amfibi lain yang benar-benar tidak lagi terlihat di alam selama bertahun-tahun, diduga sudah punah.
Populasi kodok Harlequin (Atelopus varius) yang makin menurun di Amerika Selatan akibat penyakit chytridiomycosis. Menurut para ilmuwan, 43 persen dari semua hewan amfibi mengalami penurunan populasi, 27 persen stabil, di bawah satu persen berkembang biak, dan status sisanya tidak diketahui.
Mereka menggambarkan amfibi sebagai "kenari di tambang batu bara" yang sering dipakai untuk mendeteksi adanya gas-gas beracun. Amfibi memiliki kulit yang amat sensitif terhadap perubahan lingkungan, termasuk kualitas air dan udara.
"Amfibi adalah salah satu indikator terbaik untuk menentukan kesehatan suatu lingkungan," kata Russell Mittermeier, presiden Conservation International. "Artinya penurunan populasi mereka secara drastis sebenarnya merupakan peringatan bahwa kita sedang berada dalam periode dimana kualitas lingkungan mulai memburuk."
Sementara itu, Achim Steiner, direktur jenderal IUCN mengatakan, "Kenyataan bahwa sepertiga amfibi sedang mengalami penurunan populasi yang serius, memberi tahu bahwa dunia sedang bergerak menuju kemusnahan epidemik."
Daftar merah spesies yang terancam IUCN menyatakan 12 persen dari seluruh burung dan 23 persen mamalia beresiko menjadi punah, sedangkan untuk jenis amfibi, angka resiko punah ini mencapai 32 persen.
Banyak jenis amfibi yang mulai langka dan terlupakan, termasuk jenis-jenis salamander ini. Colombia, Mexico, Ekuador, Brazil dan China masing-masing memiliki berbagai jenis spesies amfibi yang terancam punah, sementara 92 persen amfibi di Haiti berada dalam kondisi memprihatinkan.
Penyebab kondisi ini bermacam-macam. Suatu penyakit mematikan yang disebut chytridiomycosis diketahui menyerang banyak amfibi di Amerika, Karibia, dan Australia. Sedangkan di tempat lain, penurunan jumlah anfibi disebabkan karena perubahan iklim, perusakan habitat, pencemaran, dan penangkapan oleh manusia.
Padahal, sekali lagi, karena hewan amfibi tergantung pada air dan langsung merasakan efek polusi sebelum hewan lain atau manusia merasakannya, maka penurunan populasi mereka secara cepat seharusnya menyadarkan kita bahwa sistem pendukung kehidupan di Bumi kita ini sedang sakit. Dan bila itu tidak diobati, maka kita pun barangkali akan menunggu giliran untuk punah.